MenaraImpian.com - Waspada Ancaman Gangguan Pendengaran
www.menaraimpian.com |
BANDAR TOGEL - Prevalensi ketulian di Indonesia cukup tinggi, yaitu 4,6%. Guna menekan
angka ini yang juga sejalan dengan Sound of Hearing 2030, pemerintah
memfokuskan diri pada lima macam gangguan pendengaran.
Lima
macam gangguan pendengaran ini, yakni Otitis media supuratif kronik
(OMSK) atau infeksi telinga tengah, serumen pro. (kotoran telinga), tuli
akibat bising, tuli pada lansia (presbikusis), dan tuli kongenital
(tuli bawaan). Sound of Hearing 2030 sendiri bertujuan mencegah
terjadinya gangguan pendengaran sebesar 50% pada 2015 dan 90% pada 2030
mendatang.
Tidak main-main, diperkirakan banyak masyarakat
Indonesia yang akan mengalami gangguan pendengaran ini jika tidak
dicegah sedini mungkin. Perkiraan ini berdasarkan data WHO, bahwa 360
juta (5,3%) penduduk dunia terkena gangguan pendengaran, dan setengahnya
(180 juta lebih) berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia, yang
menduduki tempat ke-4 setelah Bangladesh, Myanmar dan India. Pevalensi
ketulian di Tanah Air relatif tinggi yaitu 4,6%. Dimana penyakit telinga
adalah 18.5 %, gangguan pendengaran 16,8 %, dan ketulian berat 0,4.%
dengan populasi tertinggi pada kelompok usia sekolah (7-18 tahun).
OMSK
sendiri yaitu suatu infeksi yang mengenai telinga tengah. Infeksi ini
disertai pengeluaran cairan (bisa bening ataupun keruh) yang berasal
dari liang telinga yang kemudian disebut sebagai supuratif. Sedangkan
istilah kronik dipakai jika penyakit ini hilang-timbul ataupun menetap
dalam waktu dua bulan atau bahkan lebih.
Umumnya pasien
memperoleh infeksi telinga ini sesudah menderita ISPA atau infeksi
saluran napas atas contohnya yaitu influenza ataupun sakit tenggorokan.
Lewat saluran yang menghubungkan hidung dengan telinga atau tuba
auditorius, infeksi yang terjadi di saluran napas bagian atas yang tak
diobati dengan baik bisa menjalar hingga mengenai telinga. "Pada anak
ini merupakan kelanjutan penyakit ISPA sebab saluran tuba auditorius
anak masih pendek," urai dr. Muhammad Ikhwan, Sp THT-KL dari RS Evasari
Awalbros saat ditemui di RS tersebut di jalan Rawamangun No.47, Pramuka,
Jakarta Pusat belum lama ini.
Dengan kondisi itu tak heran
gangguan ini lebih sering dialami anak-anak terutama di bawah usia 10
tahun dan pada bayi berusia 6-15 bulan. Menurut perkiraan, sekitar 25
persen anak-anak akan sudah mengalami otitis media sebelum berumur 10
tahun. Beberapa gejala otitis media diantaranya, sering menarik,
menggenggam, dan menggaruk telinga, mengalami demam, tidak mau makan,
mudah marah atau rewel, tidak bereaksi dengan suara lirih atau pelan dan
susah tidur di malam hari.
Gejala yang dialami orang dewasa
atau anak-anak yang lebih besar ketika sakit otitis media adalah
munculnya rasa sakit pada telinga dan kehilangan pendengaran. Rasa sakit
yang diakibatkan oleh infeksi ini terjadi karena inflamasi dan
penimbunan cairan di telinga bagian tengah. "Kalau gangguan terus
berlanjut bisa iritasi telinga tengah. Tekanan yang disebabkan oleh
penumpukan cairan dapat menyebabkan membran timpani menegang dan
akhirnya pecah," kata spesialis THT sekaligus Bedah Kepala Leher ini.
Sementara
itu, tuli akibat bising atau yang lebih dikenal dengan Noice Induced
Hearing Loss (NIHL) diakibatkan terpapar bising yang cukup keras dalam
jangka waktu cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh lingkungan kerja.
Meskipun NIHL merupakan penyakit penurunan pendengaran sensorineural
terbanyak kedua setelah presbikusis (kehilangan pendengaran pada pasien
lansia), namun angka kejadiannya dapat dicegah. Yakni dengan cara pindah
kerja dari lingkungan yang bising. Atau bila tidak memungkinkan,
pekerja sebaiknya memakai alat pelindung seperti sumbat telinga (ear
plug), tutup telinga (ear muff), pelindung kepala (helmed), atau ear
mould.
Dr. Ikhwan juga mengingatkan bahaya kebisingan di area
publik seperti mal atau tempat hiburan anak-anak, termasuk pemakaian
iPod berlebihan pada remaja. Kondisi ini berisiko gangguan pendengaran
permanen. Berbeda dengan tuli kongenital yang merupakan gangguan
pendengaran yang terjadi saat lahir, baik tuli sebagian ataupun total,
dan bisa diakibatkan faktor-faktor saat kehamilan ataupun kelahiran.
Menurut
WHO, terdapat 38.000 anak yang lahir tuli setiap tahunnya di Asia
Tenggara. Di Indonesia sendiri, terdapat 0,1% tuli kongenital untuk
setiap angka kelahiran hidup. Tuli kongenital bisa menjadi ancaman bagi
anak karena dapat mengganggu perkembangan bicara, kognitif, maupun
sosialnya. Adapun serumen prop atau sumbatan serumen adalah kondisi
tersumbatnya telinga oleh kotoran telinga (serumen) yang telah
menggumpal keras dan membatu.
Penyebab serumen prop ternyata
adalah karena telinga terlalu sering dibersihkan dengan cara
dikorek-korek cukup dalam. Kebiasaan terlalu sering membersihkan telinga
dengan cara seperti itu ternyata tidak tepat. Telinga yang terlalu
sering dibersihkan dengan cara dikorek-korek cukup dalam dapat membuat
kotoran telinga (serumen) semakin terdorong ke dalam. "Pembersihan
telinga tidak perlu. Telinga bisa bersihin kotoran sendiri seperti kalau
nguap atau ngunyah," pungkas dr. Ikhwan.
0 comments:
Post a Comment